Tensi pergolakan makin panas di Timur Tengah, meski sebagian lain sudah berada pada fase pasca krisis tinggal menata hari depan. Tapi sejumlah berita yang berkembang di Timur Tengah akhir-akhir ini menegaskan bahwa Timur Tengah sedang memasuki era baru yang menjadi ajang perebutan tiga komponen kekuatan penting dunia.
Tiga kekuatan itu bukan semata mewakili kekuatan militer, tapi juga kekuatan ideologi dan massa. Masing-masing Syiah, Al-Qaeda dan Barat (yang di dalamnya termasuk Israel dan kroni-kroni penguasa yang belum tumbang). Ketiganya merupakan kekuatan yang paling potensial untuk mengendalikan Timur Tengah pasca krisis kelak. Oleh karenanya, menarik untuk menganalisa akan seperti apa Timur Tengah 10 atau 20 tahun kemudian.
Kita asumsikan pekerjaan menumbangkan rejim-rejim Arab akan selesai sebagian besarnya pada akhir 2011, atau maksimal tahun 2012. Apa yang akan terjadi sesudah itu?
Barat dan Israel
Barat dan Israel selalu dalam posisi mendukung siapapun rejim yang berkuasa di Timur Tengah sepanjang dua syarat terpenuhi; tidak mendukung terorisme dan kooperatif dalam menjual minyak kepada Barat. Mereka sejatinya tak meributkan soal sikap represif para rejim kepada rakyatnya. Kalaupun menyuarakan kecaman, tak lebih pemanis bibir sebagai basa-basi politik tingkat tinggi.
Barat sudah lama tahu sikap otoriter Husni Mubarak, Qadafi dan tiran lain kepad rakyatnya, tapi selama ini diam saja tak melakukan tindakan yang berarti. Barat pernah bermusuhan dengan rejim Muamar Qadafi semata karena ia memerintahkan pengeboman pesawat milik Barat di Lockerbie. Sama sekali tak ada hubungannya dengan kebrutalan rejimnya kepada rakyat.
Setelah Qadafi 'minta maaf' kepada Barat, Barat bisa berangkulan dengan Qadafi, seolah tak ada masalah sebelumnya. Wajar, karena Qadafi kooperatif dalam menjual sumber daya alamnya, dan lebih penting, sangat anti Al-Qaeda dan terorisme (baca: jihad).
Tapi ketika Qadafi mulai ditinggalkan rakyatnya dan tersudut, Barat tak segan mencampakkannya. Pola ini menjadi standar sikap Barat terhadap rejim manapun di Timur Tengah, bahkan dunia.
Intinya, Barat melihat potensi Timur Tengah dan Afrika Utara hanya dalam dua pertimbangan strategis; sejauh mana sumber daya alamnya bisa dimanfaatkan, dan sejauh mana jarak para penguasa dari gerakan terorisme, sebagai upaya melindungi Israel. Masalahnya, Barat yang dipimpin Amerika sedang dirundung masalah bertubi-tubi. Krisis ekonomi yang makin akut, dan kemerosotan moral tentaranya di semua front pertempuran (untuk tidak mengatakan kekalahan) membuat mereka memilih hati-hati dalam menyikapinya.
Artinya, pergolakan Timur Tengah ini sudah agak terlambat bagi Amerika dan Barat secara umum, karena mereka terlanjur terperosok di kubangan Afghanistan dan Iraq yang membuat mereka tak lagi bisa lincah bergerak. Dahulu ketika Amerika masih kuat, pergolakan semacam ini akan menjadi peluang emas, karena tak ada saingan. Tapi kini, pesaingnya sudah banyak.
Namun ini sama sekali tidak berarti Barat sudah lumpuh. Mereka masih kuat dan berbahaya, tapi tidak lagi menjadi pemain tunggal dalam memanfaatkan momentum pergolakan semacam ini, apalagi di kawasan sepenting Timur Tengah yang merupakan panggung utama pergolakan dunia.
Syiah, Ancaman Paling Nyata
Saat Husni Mubarak berkuasa, di balik kebengisannya kepada rakyat, ada manfaat geopolitik yang tak disadari, yakni kebenciannya kepada Iran. Sejak Iran sukses menumbangkan tiran Reza Pahlevi tahun 1979, dan haluan negara berobah menjadi Syiah tulen, Mesir tak pernah mengijinkan kapal Iran melintas di terusan Suez. Tapi setelah Mesir menumbangkan Husni Mubarak, untuk pertama kali terusan Suez dilintasi kapal perang Iran (http://www.eramuslim.com/berita/dunia/setelah-tak-ada-mubarak-akhirnya-kapal-iran-melintas-suez.htm)
Pergolakan di Bahrain juga meresahkan, di mana para demonstrannya adalah Syiah melawan rejim penguasa yang Sunni. Arab Saudi dalam posisi delematis, jika membiarkan rejim Bahrain ditumbangkan oleh demonstran Syiah, maknanya rejim Sunni yang notabene sahabat Saudi akan hilang. Jelas Saudi dalam bahaya, karena ancaman Syiah makin mendekat ke garis perbatasannya. Meski akan mengundang pandangan miring dari dunia internasional, Arab Saudi merasa perlu mengirimkan bala tentara secara langsung ke Bahrain, sebagai upaya membendung gerak maju Syiah. (http://www.eramuslim.com/berita/dunia/mengapa-saudi-melakukan-intervensi-ke-bahrain.htm) dan ( http://www.voa-islam.com/news/islamic-world/2011/03/15/13760/aksi-protes-makin-mengkhawatirkan-bahrain-datangkan-pasukan-asing/ )
Tak jauh beda Oman, Kuwait dan Yaman, yang semuanya menyimpan potensi penganut Syiah yang cukup besar. Jika pergolakan rakyat ini bisa dimainkan dengan baik oleh Iran, bukan mustahil Arab Saudi makin terdesak oleh gerak maju pengaruh Iran yang Syiah di kawasan. Sebelum pecah pergolakan saja, pemberontak Houtsi di Yaman sudah sangat merepotkan Saudi.
Belum lagi ditambah pergolakan dalam negeri Saudi, yang juga disulut oleh penganut Syiah yang asli berkewarga-negaraan Saudi. Mereka terkonsentrasi di kota-kota bagian timur Saudi, seperti Hufuf, Qatif dan Awamiya. Rejim Saudi yang berpaham Sunni sedang diguncang gerakan rakyat yang ditunggangi Syiah (http://hizbut-tahrir.or.id/2011/03/14/rakyat-saudi-tuntut-perubahan-%E2%80%9C20-maret%E2%80%9D-demo-besar/ ).
Perkembangan ini jika terus bergulir makin membesar, membuat Timur Tengah dalam ancaman bahaya yang nyata dari Syiah dan Iran. Memang, sejarah akan selalu berputar pada poros yang sama. Jika zaman dahulu terjadi persaingan laten antara bangsa Arab dengan bangsa Persia, kini sejarah itu berulang. Kini Arab diwakili Saudi dan Persia diwakili Iran. Dan Iran sejak dahulu selalu menjadi biang masalah, karena ditaqdirkan menjadi tanah yang subur untuk berkembangnya berbagai penyimpangan dan kedengkian. Tak heran dalam sejarah Persia, mereka yang paling sering berkawan dan saling tolong-menolong dengan bangsa Yahudi.
Iran saat ini sedang dalam masa keemasan dengan Syiahnya. Sejak berhenti berperang melawan Iraq tahun 80-an, praktis konsentrasinya hanya menyebarkan pengaruh melalui ajaran Syiah ke seluruh kawasan bahkan dunia. Bahkan Indonesia dijadikan obyek garapan serius. Tak kurang dari 300 siswa Indonesia tiap tahun digembleng dengan ajaran Syiah di Qum Iran dan kota lainnya untuk menjadi kader pejuang Syiah di bumi Indonesia. Mereka dikenal licik, karena tidak membawa Nabi baru, tapi hanya menggugat Sahabat Nabi. Namun inti dari ajarannya adalah menanamkan kebencian membara kepada Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mayoritas di negeri ini.
Boleh dibilang, Iran lebih berpeluang memanfaatkan pergolakan Timur Tengah dibanding Barat, karena sejumlah faktor:
- Iran negara kaya dengan uang minyak yang melimpah, hanya kalah dari Saudi.
- Iran tak terlibat dalam peperangan dengan bangsa manapun, sehingga dana mereka utuh.
- Iran punya kaki tangan di semua negara Timur Tengah dengan ajaran Syiahnya. Mereka bisa dimanfaatkan untuk membelokkan agenda reformasi, atau minimal mengurangi resistensi masyarakat Sunni terhadap ajaran Syiah.
- Iran sangat dekat dengan tempat-tempat pergolakan di Timur Tengah, dan memiliki postur yang relatif sama, juga bisa berbahasa Arab. Mudah bagi mereka menyusup, apalagi ditunjang dengan aqidah Taqiyah, yang membolehkan berpura-pura Sunni untuk menggunting dalam lipatan.
- Iran juga mandiri secara teknologi, yang bisa menjadi alternatif jika masyarakat Timur Tengah menolak Barat. Militernya juga kuat, bahkan mungkin terkuat di kawasan.
- Iran juga konsisten bersandiwara dengan menampakkan permusuhan kepada Amerika dan Israel, yang membuat rakyat Timur Tengah sulit untuk mengabaikan Iran, misalnya dalam kasus pembelaan terhadap gaza.
- Iran juga tak dipusingkan dengan Al-Qaeda, berbeda dengan Saudi atau Barat. Wajar, sebab Al-Qaeda hanya bisa beroperasi jika ada basis Sunni-nya, sementara Iran sedikit sekali penganut Sunninya. Artinya, kekuatan ekonomi dan militer Iran dalam keadaan stabil, tak ada gangguan lain yang berarti.
Dengan semua pertimbangan tersebut, maka dapat disimpulkan Iran dengan Syiahnya akan makin mengepakkan sayap ke sejumlah kawasan di Timur Tengah dan Afrika Utara untuk menancapkan hegemoninya. Era pergolakan dan buahnya kemudian berupa keterbukaan bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh Iran, saat negara Sunni lain di kawasan sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
Misalnya Mesir, saat para aktifis Ikhwan sibuk bertarung melawan kaum sekuler dalam menentukan warna negaranya, Syiah dengan leluasa berdakwah di tengah masyarakat. Tak ada lagi undang-undang atau kekuasaan yang bisa melarangnya, karena eranya sudah terbuka. Dalam 10 atau 20 tahun ke depan, Iran tinggal menuai hasilnya. Demikian pula di negara-negara lain.
Iran vs Al-Qaeda dan Jihadis Global
Rangkaian ujian yang Allah berikan kepada umat Islam untuk menaikkan derajatnya ternyata datang bergiliran dengan sangat cepat. Ketika Al-Qaeda dan aktifis jihad global sedang diuji ketahanannya melawan super power dunia - Amerika - di beberapa tempat sekaligus, Syiah dengan dukungan Iran sudah siap menggeliat. Syiah dan Iran sudah siap menunggu untuk menjadi musuh berikutnya, pasca tumbangnya Amerika dan koalisi. Sekitar 10 atau 20 tahun ke depan, Iran dengan Syiahnya akan jauh lebih kuat dari sekarang. Kakinya berpijak di sejumlah kawasan dengan lebih kuat, wal 'iyadzu billah.
Umat Islam yang dipimpin Al-Qaeda, Taliban dan aktifis jihad global sedang "dilatih" oleh Allah untuk mempraktekkan ibadah jihad fi sabilillah, dengan cara diberi lawan tanding yang top power. Hal ini disebabkan pelaksanaan ibadah jihad berbeda dengan ibadah lain seperti shalat dan zakat. Jihad harus ada masuh untuk bisa dilaksanakan, sementara shalat cukup dengan menghadap kiblat dan menggelar sajadah.
Entah kepada, titik awal perkembangan jihad dan dan geliat Syiah ternyata bersamaan. Pada tahun 1979, para mullah Syiah berhasil memberangus rejim Reza Pahlevi dan mendirikan negara Syiah yang berdaulat. Pada tahun yang sama, Uni Sovyet menyerbu Afghanistan, yang mulai dilawan oleh mujahidin dengan modal awal tak lebih dari 6 pucuk senapan. Pada tahun 1991, alhamdulillah, Uni Sovyet bisa dikalahkan dengan ijin Allah, bahkan imperium itu pecah berkeping-keping, tinggal tersisa Rusia. Seolah kita diberi kesempatan adu cepat berlari dengan titik start yang sama; tahun 1979.
Setelah 30 tahun kemudian, Iran menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Ia punya pengaruh luas di dunia Islam. Iraq sudah berada dalam kontrol Iran setelah ditinggal Amerika, meski tidak penuh. Jika Bahrain berhasil, akan bertambah lagi negara Syiah. Dan banyak lagi.
Sebaliknya, setelah 30 tahun pula, jihad global berhasil menancapkan pengaruh kuat di Afghanistan, sebagian Pakistan, Iraq (meski sebagian), Somalia, Chechnya, Kashmir, dan beberapa wilayah pergolakan bersenjata lain. Cepat atau lambat, pertarungan besar antara mujahidin global melawan Iran akan pecah. Sebab, pasca Amerika melemah, Timur Tengah harus dibersihkan dari Iran.
Perkembangan Iran sebetulnya bisa menjadi inspirasi bagi penguasa Saudi dan rejim lain. Ketika mereka khawatir oleh gerak maju Syiah, mitra terbaik untuk membendungnya adalah Al-Qaeda dan aktifis jihad global. Tapi sayang, rejim Saudi tak bisa lepas dari Amerika. Kelak mereka akan menyesal, karena mengambil mitra yang salah.
Intinya, sebetulnya Timur Tengah menghajatkan Al-Qaeda dan aktifis jihad global, tapi kadung gengsi karena merasa izzah itu masih di tangan Amerika. Padahal izzah sejatinya ada pada Allah dan Rasul-Nya dengan ibadah bernama jihad fi sabilillah. Mencari izzah kepada Amerika hanya akan mendapat kehinaan.
Peluang Jihad Global di Timur Tengah dan Afrika Utara
Gerakan jihad global dihadapkan pada peluang yang sulit. Libya sebetulnya sangat potensial untuk diisi dengan gerakan jihad fi sabilillah, tapi banyak aktifis jihad yang masih terkonsentrasi di Afghan, Somalia, Pakistan, Iraq, Cechnya dan lain-lain.
Oleh karenanya, yang bisa dilakukan minimal menyeru rakyat yang bergolak untuk membawa misi jihad fi sabilillah. Libya coraknya berbeda dengan Mesir. Mesir bergaya protes sipil murni, sementara Libya bercorak perlawanan bersenjata.
Itulah sebabnya, Barat sangat khawatir jika situasi dan kondisi ini dimanfaatkan Al-Qaeda untuk menyemai bibit perlawanan. Barat merasa perlu memastikan Libya tidak berubah menjadi medan jihad baru.
Rakyat Libya, sebaliknya, juga dalam dilema. Mereka dalam pilihan sulit. Jika meminta bantuan Barat untuk menumbangkan Qadafi, ini akan berbuntut hegemoni Barat terhadap Libya kelak. Tapi jika tidak minta bantuan, terbukti pasukan loyalis Qadafi masih kuat, dengan senjata yang lebih canggih.
Sementara jika menggandeng Al-Qaeda, akan diberangus Barat, dan Qadafi akan mendapat simpati dunia. Qadafi bisa dengan mudah memainkan kartu ini bahkan untuk mencari dukungan rakyat yang anti jihad. Di sisi lain, saat rakyat (umat islam) Libya melakukan perlawanan bersenjata kepada rejim Qadafi, mereka membutuhkan spirit yang bisa menggerakkan umat Islam. Dan tak ada spirit keberanian dan perlawanan kecuali jihad fi sabilillah, yang menjadi ciri khas Al-Qaeda. Apalagi Libya punya tokoh mujahid legendaris, Umar Mukhtar, maka sejatinya peluang jihadis global masih terbuka lebar.
Akankah Libya menjadi medan jihad baru? Wallahu a'lam!
Sumber: elhakimi
No comments:
Post a Comment